Setelah sekian lama, akhirnya mulai aktif nulis lagi di blog. Kali ini gw mau nulis review novelnya Tere Liye. Novel yang baru selesai gw baca judulnya “Tentang Kamu”. Salah satu dari beberapa novel Tere Liye yang gw beli di Agustus 2019 dan baru mood baca sekarang haha… Novel Tere Liye yang sebelumnya gw review adalah “Hujan”, bisa baca di sini.
Cover depan (dokumentasi pribadi) |
Identitas Buku
Judul Buku : Tentang Kamu
Nama Penulis : Tere Liye
Tahun Terbit : 2016
Penerbit : Republika
Jumlah halaman : 524 halaman
Review ini mengandung SPOILER! Dan juga sangat subjektif! Jadi gak apa-apa kalau ada yang punya pendapat lain. Let’s respect each other and I’m very open for a discussion! 😊
Overall, Novel “Tentang Kamu” ini menceritakan kisah Zaman Zulkarnaen yang
sedang menyelidiki kisah hidup kliennya yang bernama Sri Ningsih. Novel ini
ditulis dari sudut pandang orang ketiga. Alur ceritanya campuran antara alur
maju dan alur mundur.
Sinopsis: “Tentang Kamu”
Zaman Zulkarnaen adalah seorang associate di firma hukum Thompson & Co yang berlokasi di Belgrave Square, London. Suatu pagi, Zaman ditugaskan untuk menangani settlement warisan kliennya yang bernilai satu miliar Poundsterling atau setara 19 triliun Rupiah. Kliennya adalah orang Indonesia yang bernama Sri Ningsih. Tidak ada informasi yang dimiliki selain surat keterangan cap pos bahwa Thompson & Co diberikan mandat untuk menyelesaikan harta warisan Sri Ningsih dengan seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dengan pesawat jet pribadi Thompson & Co, Zaman segera terbang untuk menuju ke alamat surat menyurat terakhir klien, yaitu panti jompo di Quay d’Orsay, Paris. Di sana, Zaman bertemu dengan seorang perawat panti bernama Aimée. Aimée menceritakan bagaimana Sri Ningsih tiba di panti jompo tersebut dan menunjukkan kamar yang ditempati Sri Ningsih selama ia tinggal di sana. Aimée pun memberikan buku diary Sri Ningsih kepada Zaman dan perjalanan Zaman menyusuri kehidupan Sri Ningsih pun dimulai.
Buku diary Sri Ningsih terdiri dari lima
bagian, Juz Pertama adalah tentang Kesabaran 1946 - 1960.
“Terima kasih banyak atas pelajaran tentang kesabaran. Bapak, aku akhirnya memahaminya Apakah sabar memiliki Batasan? Aku tahu jawabannya sekarang. Ketika kebencian, dendam kesumat sebesar apa pun akan luruh oleh rasa sabar. Gunung-gunung akan rata, lautan akan kering, tidak ada yang mampu mengalahkan rasa sabar. Selemah apa pun fisik seseorang, semiskin apa pun dia, sekali di hatinya punya rasa sabar, dunia tidak bisa menyakitinya. Tidak bisa. Terima kasih banyak untuk tempat yang telah mengajarkan pelajaran ini. Di sini, di tempat di mana rumah-rumah saling bersinggungan atap, tiada tanah, rumput, apalagi pepohonan yang terlihat oleh elang yang terbang tinggi. Di sini, di mana rumah-rumah yang tumbuh dari atas permukaan laut, perahu tertambat di tiang-tiang, dan kambing-kambing mengunyah kertas. Terima kasih.”
Berkat bantuan Encik Razak, pilot pesawat jet pribadi Thompson & Co, Zaman mengetahui lokasi yang dimaksud oleh Sri Ningsih di buku diary-nya. Lokasi tersebut adalah Pulau Bungin, Sumbawa. Pulau terpadat di dunia. Zaman menghabiskan lima hari di Pulau Bungin dan pada hari terakhir ia akhirnya bertemu dengan seseorang yang mengenal Sri Ningsih. Orang tersebut bernama Ode, atau lebih dikenal sebagai Pak Tua. Pak Tua pun menceritakan kehidupan Sri Ningsih selama ia tinggal di Pulau Bungin.
Setelah mengetahui bagian pertama kehidupan Sri
Ningsih, Zaman melanjutkan perjalanannya ke Surakarta, Jawa Tengah untuk
menelusuri bagian kedua hidup Sri Ningsih. Juz Kedua adalah tentang
Persahabatan. 1961 - 1966.
“Apa arti persahabatan? Apa pula arti pengkhianatan? Apakah sahabat baik akan mengkhianati sahabat sejatinya? Bapak, Ibu, ternyata Sri bukan sahabat yang baik. Sri telah mengkhianati teman terbaik. Sri harus memilih, sahabat sejati atau kebenaran. . . . Bertahun-tahun kejadian tersebut telah berlalu, tapi Sri tetap tak bisa mengusir rasa bersalah. Di sini, di perkampungan santri dekat pabrik gula, dengan loji, kereta lori, cerobong raksasa menjadi saksi, betapa keserakahan bisa mengubah orang lain menjadi lebih dari hewan buas. Sri ingin mengusir pergi semua kenangan mengerikan itu, tapi dia terus menghantui, sia-sia belaka. Teriakan bengis, suasana mencekam, penyiksaan. Sri tidak kuasa untuk menuliskannya lagi. . . . Selamat jalan, Sahabat, semoga besok lusa kita kembali bertemu, dan engkau tidak lagi membenciku.”
Di Surakarta, Zaman bertemu dengan Ibu Nur’aini yang merupakan sahabat Sri Ningsih. Mereka berdua merupakan sahabat baik sejak Sri Ningsih tiba di perkampungan santri tersebut. Mereka juga bersahabat dengan salah satu guru madrasah yang bernama Mbak Lastri. Ibu Nur’aini pun menceritakan kehidupan Sri Ningsih selama ia tinggal di Surakarta. Ibu Nur’aini juga memberikan foto-foto, berkas-berkas dan surat-surat yang pernah dikirimkan oleh Sri NIngsih.
Setelah mengetahui bagian kedua kehidupan Sri
Ningsih, Zaman melanjutkan perjalanannya ke Jakarta. Juz Ketiga adalah tentang
Keteguhan Hati 1967 - 1979.
“Saat kita sudah melakukan yang terbaik dan tetap gagal, apa lagi yang harus kita lakukan? Berapa kali kita harus mencoba hingga tahu bahwa kita telah tiba pada batas akhirnya? 2x, 5x, 10x atau berpuluh-puluh kali hingga kita tak dapat menghitungnya lagi? Berapa kali kita harus menerima kenyataan, untuk tahu bahwa hidup kita memang tidak berbakat, sesuatu itu bukan jalan hidup kita, lantas melangkah mundur? Aku sekarang tahu jawabannya. Di sini, di kota yang sibuk mengejar dan dikejar pembangunan, gedung-gedung tinggi tumbuh seperti jamur di musim hujan. Di sini, di kota tempat harapan ribuan pendatang berlabuh, tiap hari terminal, stasiun padat oleh penduduk baru. Lampu-lampu gemerlap, jalan-jalan luas, kawasan hijau yang semakin habis, orang-orang mengejar mimpi. Terima kasih atas pelajaran tentang keteguhan. Aku tahu sekarang, pertanyaan terpentingnya bukan berapa kali kita gagal, melainkan berapa kali kita bangkit lagi, lagi, dan lagi setelah gagal tersebut. Jika kita gagal 1000x, maka pastikan kita bangkit 1001x.”
Berbekal surat-surat yang diberikan oleh Ibu Nur’aini, Zaman menelusuri alamat-alamat yang pernah digunakan oleh Sri Ningsih untuk surat-menyurat. Ia mengunjungi Pasar Tanah Abang dan kawasan Pasar Senen. Namun, ia tidak bisa menemukan petunjuk apa pun. Zaman hanya bisa mengetahui sebagian besar kehidupan Sri Ningsih dari surat-surat yang diberikan oleh Ibu Nur’aini.
Alamat terakhir, Zaman pergi ke Pulogadung dan mendatangi salah satu pabrik sabun mandi yang ada di sana. Akhirnya ia berhasil menemukan seseorang yang mengenal Sri Ningsih. Orang itu adalah Catherine, atau biasa dipanggil Ibu Cathy. Ibu Cathy menceritakan kejadian yang terjadi setelah surat terakhir dikirimkan ke Surakarta.
Berbekal informasi yang ia dapatkan di
Indonesia, Zaman pun kembali ke London untuk menelusuri bagian keempat kehidupan
Sri Ningsih. Juz Keempat adalah tentang Cinta 1980 - 1999.
“Kota London, ibu kota Inggris, Eropa, dan dunia. Tempat berbagai suku bangsa, agama, ras, dan bahasa berkumpul. Tempat berbagai kesempatan, pertemuan, pun perpisahan terjadi. Juga tempat jatuh cinta yang indah dan abadi. Sambil menatap langit mendung, gerimis menyiram jalanan kota yang ramai. Atau kabut yang membawa rintik air menerpa wajah, sambil berpegangan tangan di taman-taman kota yang hijau. Terima kasih untuk kesempatan mengenalmu, itu adalah salah satu anugerah terbesar hidupku. Nasihat-nasihat lama itu benar, cinta memang tidak perlu ditemukan, cinta-lah yang akan menemukan kita. Terima kasih. Aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi. Karena dicintai begitu dalam oleh orang lain akan memberikan kita kekuatan, sementara mencintai orang lain dengan sungguh-sungguh akan memberikan kita keberanian.”
Setelah menelusuri kembali berkas-berkas yang dimiliki Sri Ningsih, Zaman akhirnya berhasil menemukan tempat yang pernah ditinggali oleh Sri Ningsih. Ternyata orang yang mengenal Sri Ningsih begitu dekat dengannya. Ia adalah Rajendra Khan, pemilik kios makanan yang merupakan langganan Zaman. Rajendra Khan mengajak Zaman ke rumahnya dan memperkenalkannya pada orang tuanya, Aabu dan Aami. Aami pun kemudian menceritakan seluruh kehidupan Sri selama ia tinggal di London.
Belum selesai Zaman menelusuri bagian terakhir
kehidupan Sri Ningsih, ia dihubungi bahwa firma hukum A&Z Law mengajukan
permintaan rapat sebagai perwakilan ahli waris yang tersisa. Ditekan oleh waktu
yang mendesak, Zaman kembali ke Paris untuk menelusuri bagian terakhir
kehidupan Sri Ningsih. Juz Kelima adalah tentang Memeluk Semua Rasa Sakit 2000
- . . . .
“Ibu, Bapak, bagaimana agar kita bisa berdamai dengan begitu banyak kejadian menyakitkan? Bagaimana jika semua hal menyesakkan itu ibarat hujan deras di tengah lapangan, kita harus melewai lapangan menuju tempat berteduh di seberang, dan setiap tetes air hujan laksana setiap hal menyakitkan dalam hidup? Bagaimana agar Sri bisa tiba di tempat tujuan tanpa terkena satu tetes airnya? Sri sekarang tahu jawabannya. Yaitu dengan lompatlah ke tengah hujan, biarkan seluruh tubuh kuyup. Menarilah bersama setiap tetesnya, tarian penerimaan, jangan pernah dilawan, karena sia-sia saja, kita pasti basah. Di sini, di kota dengan Menara Eiffel yang indah dipandang mata, Sungai Seine mengalir elok. Di sini, di jantung peradaban budaya dunia, terima kasih telah mengajariku tentang hakikat kehidupan. Sri akan memeluk semua rasa sakit. Dulu. Sekarang. Esok lusa hingga kita bertemu lagi. Sri Ningsih.”
Kembali ke panti jompo, Aimée menceritakan
kehidupan Sri Ningsih melalui album-album foto yang dimiliki oleh panti. Salah
satu cerita Aimée memberikan petunjuk bagaimana Sri Ningsih mengetahui tentang
Thompson & Co. Setelah menghubungkan benang merah antara tiap kejadian,
Zaman akhirnya berhasil menemukan surat wasiat Sri Ningsih dan dapat menyelesaikan
misteri yang terjadi di kehidupan Sri Ningsih.
Comments
Dari sekian banyak novel Tere Liye yang pernah gw baca, “Tentang Kamu” jadi salah satu favorit gw. Di novel “Hujan” atau “Harga Sebuah Percaya”, dari awal hingga akhir lebih banyak berfokus pada satu topik, yaitu penerimaan. Namun dalam “Tentang Kamu”, topik yang diangkat berbeda untuk setiap bagian kehidupan Sri Ningsih dan seluruhnya dapat dijadikan hikmah.
Di bagian pertama, lesson learned yang
bisa diambil adalah mengenai kesabaran. Bagaimana Sri Ningsih tetap sabar dalam
menjalani kehidupan masa kecilnya yang tersiksa. Di bagian kedua, adalah
bagaimana rasa dengki yang dimiliki seseorang bisa berubah menjadi kebencian
luar biasa yang bahkan bisa membuat orang tersebut menjadi gelap mata. Di
bagian ketiga adalah bagaimana keteguhan Sri Ningsih bisa membuatnya menjadi
pengusaha yang sukses, meskipun ia ditimpa berbagai musibah. Bagian keempat
merupakan kisah cinta Sri Ningsih. Kisah yang begitu sederhana namun sangat
indah. Bagian kelima adalah bagaimana Sri Ningsih berdamai dengan masa lalunya
dan terus melanjutkan hidup.
Novel ini juga membuka beberapa wawasan baru untuk gw. Gw baru tau kalau ternyata firma hukum itu terbagi menjadi banyak spesialisasi. Ada yang khusus menangani merger dan akuisisi, perbankan, kriminal dan juga elder law. Thompson & Co ini berfokus pada elder law. I know this story is fiction, tapi keren sih si Thompson & Co ini.
Gw juga baru tau kalau pulau terpadat di dunia
itu ada di Indonesia. Setelah googling, ternyata wow… benar-benar padat.
Buat yang baru tau juga, ini ada foto Pulau Bungin yang gw dapat dari Google.
Keren sih Tere Liye bisa dapat inspirasi untuk nulis tentang pulau ini.
Pulau Bungin (sumber: foto.bisnis.com) |
Lastly, gw merekomendasikan novel ini untuk dibaca oleh siapa pun yang baca posting-an
ini haha… Semoga review kali ini bermanfaat dan sampai ketemu di posting-an
selanjutnya.
Comments
Post a Comment