Skip to main content

Review: Novel "HUJAN"

Novel “HUJAN” ini adalah novel Tere Liye kesekian yang udah gw baca. Novel Tere Liye terakhir yang gw baca sebelum ini adalah novel “Harga Sebuah Percaya” yang udah gw bikin review-nya juga di sini. Novel ini adalah satu dari lima novel Tere Liye yang gw beli di akhir Agustus 2019 kemarin. Dua novel udah dibaca dan sisa tiga lagi yang menunggu giliran.

Novel Hujan oleh Tere Liye
dokumentasi pribadi


Review ini mengandung SPOILER! dan juga sangat subjektif! Jadi wajar sekali kalau ada yang punya pendapat lain. Let’s respect each other and I’m very open for discussions! Silahkan comment di bawah, pasti gw bales kok haha..

Overall, Novel “HUJAN” ini menceritakan kisah hidup dan kisah cinta Lail dan Esok. Novel ini ditulis dari sudut pandang orang ketiga. Alur ceritanya campuran antara alur maju dan alur mundur.

 Sinopsis: “HUJAN”

Pada tahun 2042, gunung purba yang jaraknya 3.200 kilometer dari kota meletus dengan skala 8 volcanic explosivity index (VEI). Gempa dari letusan gunung purba tersebut menghancurkan 90% infrastruktur kota. Lail dan Esok selamat dari bencana besar itu. Saat itu Lail berumur tiga belas tahun dan Esok berumur lima belas tahun.

Lail kehilangan kedua orang tuanya dan Esok kehilangan keempat kakak laki-lakinya. Mereka berdua melanjutkan hidup mereka di lokasi pengungsian. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama dan menjadi akrab satu sama lain. Di mana ada Esok, berarti ada Lail, dan sebaliknya, jika ada Lail, berarti ada Esok bersamanya.

Satu tahun sejak bencana itu, kehidupan kota mulai membaik. Namun Lail harus berpisah dengan Esok karena Esok diadopsi oleh satu keluarga yang bersedia menyekolahkannya dan merawat Ibunya yang sakit-sakitan. Sementara Lail pindah ke panti sosial. Jadwal pertemuan mereka menjadi hanya satu hari dalam satu bulan. Namun mereka berdua puas akan keadaan itu.

Frekuensi pertemuan mereka menjadi sangat berkurang saat Esok kuliah di universitas terbaik Ibu Kota. Lail bisa saja menghubungi Esok dengan teknologi komunikasi, tapi hal itu tidak pernah ia lakukan karena ia khawatir mengganggu kesibukan Esok. Untuk menaklukkan pikiran-pikiran negatifnya, Lail mencari kesibukan dengan bergabung menjadi relawan termuda di Organisasi Relawan bersama Maryam, teman sekamar dan sahabat Lail.

Tiga tahun sejak bencana besar itu terjadi, negara-negara subtropis mengalami musim dingin ekstrem dan mengalami krisis pangan serius. Meskipun ditentang mati-matian oleh negara-negara tropis, negara-negara subtropis secara resmi menerbangkan delapan pesawat ulang-alik ke angkasa, melepas anti gas sulfur dioksida di lapisan stratosfer.

Malam itu bencana baru telah datang. Tidak seperti gunung meletus yang akibatnya langsung terlihat, kali ini rantai akibatnya panjang dan tidak terlihat solusinya. Hal itu berkaitan dengan hujan yang selalu disukai oleh Lail. Dalam hidupnya, seluruh kejadian sedih, seluruh kejadian bahagia dan seluruh kejadian penting terjadi saat hujan. Hal itu juga merupakan awal mula permasalahan dari hubungan Lail dan Esok yang akan terjadi lima tahun kemudian.

Comments

Hal pertama yang terpikirkan saat mulai baca novel ini adalah tema futuristik yang mengingatkan gw akan kehidupan di Klan Bintang dan Klan Komet Minor yang teknologinya sangat canggih di series novel “BUMI”. Tapi bencana alam yang tiba-tiba terjadi itu sangat di luar perkiraan dan bikin konfliknya jadi gak ketebak.

Waktu berjalan dengan cepat di dalam novel dan kejadian penting dalam setiap tahun selalu dituliskan dengan singkat dan jelas, sehingga pembaca bisa merunut kejadian dalam kurun waktu delapan tahun itu.

Tema kerusakan lingkungan ini menurut gw bagus banget untuk meningkatkan awareness para pembaca terhadap kondisi di bumi ini. Ada kalimatnya si Narasumber yang menurut gw bagus:

Nah, itu berarti Anda masih ingat. Saya pernah bilang, umat manusia persis seperti virus, mereka rakus menelan sumber daya di sekitarnya, terus berkembang biak hingga semuanya habis. Saat itu saya keliru, saya pikir obat paling kerasnya adalah bencana alam mematikan. Bukan. Sama sekali bukan. Bumi sudah berkali-kali mengalami gunung meletus 8 VEI, tapi umat manusia tetap bertahan, berkembang biak. Anda benar, virus tidak bisa diobati, virus hanya bisa dihentikan oleh sesuatu yang lebih mengerikan dari bencana alam.” 
Sesuatu yang lebih mengerikan daripada gunung meletus skala 8? Apa itu, Prof?
Saat mereka merusak dirinya sendiri, menghancurkan dirinya sendiri, barulah mereka akan berhenti.

Yuuk, sama-sama jaga bumi kita. Mulai dari hal kecil yang bisa kita lakukan, seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Kalau dilakuin bersama-sama, pasti ada dampak positif yang untuk bumi kita. :D

Terkait kisah Lail dan Esok, mereka itu memang tercipta untuk satu sama lain. Tapi ada satu hal penting yang menurut gw sangat kurang dari hubungan mereka, yaitu komunikasi. Gw tau mereka percaya satu sama lain, tapi di jaman udah semaju itu, apa gak bisa saling kasih kabar at least via pesan!? Semua masalahnya kan juga berawal dari komunikasi mereka yang gak bagus. Yaah.. memang kalau hubungan mereka oke, gak mungkin ada konflik sih. Meskipun di ending gw tau bahwa komunikasi bukan hal yang ingin diangkat oleh Tere Liye.

Personally, karakter gw yang cablak bertolak belakang sama karakternya Lail yang selalu menahan diri untuk gak menghubungi Esok. Gw lebih relate sama Maryam yang geregetan nyuruh Lail untuk ngehubungin Esok. Apa susahnya sih!? Toh Lail sendiri ngerasa tersiksa karena dia gak dapat kabar dari Esok. Gw agak lama nyelesain baca novel ini karena gw gak suka sama karakternya Lail. :(

Despite all the miscommunications and bad things that happened, gw bahagia sih kisah Lail dan Esok happy ending. Meskipun, hidup mereka gak akan mudah ke depannya, at least they are together.

Lesson learned dari novel ini adalah untuk menerima, sama seperti novel “Harga Sebuah Percaya”, namun dikemas dari sisi yang berbeda. Di akhir epilog “Hujan”, ada quote bagus yang menyimpulkan hikmah dari kisah ini:

Bukan seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka alami.
Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan.

Semoga review kali ini bermanfaat dan sampai ketemu di postingan selanjutnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Itinerary and Budget South Korea Trip [May 2016]

Setelah sepuluh postingan sebelumnya itu menceritakan tentang kejadian apa aja yang terjadi selama perjalanan gw, Nono dan Anita di Korea Selatan pada tanggal 1 – 10 Mei 2016, kali ini gw akan memposting mengenai keseluruhan itinerary kita dan juga budget gw selama traveling kemaren. Sebelum liat itinerary aktual kita pas di Korea Selatan, ini gw kasih liat itinerary yang kita rencanain sebelum berangkat: ( please click and then  open image in new tab  for bigger resolutions ) Rencana Itinerary di Korea Selatan

My Personality Test Result

I tried this personality test on  http://personality.visualdna.com/ I am a Harmonizer . Harmonizer means a mediator who brings one thing into harmonious agreement with another. Spirit: You're a Harmonizer. Loyal and honest, you're generous with your time and know how to support your friends. You value one-on-one time with your inner circle and have a few close friends who you can truly rely on. Reliable and trustworthy, you seek harmony and balance in your life. You forge strong, long-lasting friendships, and your friends value your honesty and frank opinions. You tend to value routine and security. You know how to take the good with the bad. Your balanced attitude means life feels pretty good and you're comfortable in your own skin.   When it comes to improving things in your life, why would you say no to extra cash? It would be great to treat the family whenever you feel like it. The trick is to be disciplined about budgeting. If you...

Beberapa Hambatan Menuju Kebahagiaan

 Menunda Kebanyakan orang tidak berhasil di dunia ini karena selalu menunda-nunda apa yang seharusnya diselesaikan. tampaknya ada suatu suasana "nikmat" dalam penundaan ini, semakin sering menunda sesuatu, semakin terasa kurang bertanggung jawab. Setelah bertumpuk-tumpuk, barulah terasa berat dan kemudian mencari-cari dalih yang membenarkan dirinya. Malas Kemalasan bukanlah warisan. Seorang pemalas melihat pagi hari dengan berbaring di tempat tidur seraya memperhatikan berkas cahaya pagi yang menembus jendela, memperhatikan siang hari dengan keluh kesah bahwa matahari terlalu terik sehingga melelahkan badannya, menatap senja dengan mengatakan bahwa di sumur ada hantu gentayangan. orang yang tekun bekerja menyambut subuh dengan keriangan yang menyibukkan serta merasakan keramahan senja dengan kesibukan yang bermanfaat untuk masa depan. orang malas lebih banyak berlindung di balik selimut dari pada menikmati kehidupan yang sesungguhnya dari berbagai corak, menghindarkan diri...

Choices

Everyday I'm kinda stuck in this "choice" thing. It seems just a trivial matter. The choice is about which route should I take to go home? For me, it's not a trivial matter. Why? Let me tell you the background story. In some previous posts, I think I've told you that I have a new job in a consultant. The office located in Ampera Street. This is not a very well known street, so that I just tell everyone that asks that I work in Pejaten. The first route that I took to reach this place is via commuter line to Pasar Minggu Station and then ride the public transportation car no. 36 to Ampera Street. It feels so far from home. It takes 2 hours to go to the office and 2.5 - 3 hours to go back home!! It seriously drives me crazy!! Believes it or not, this route even makes my emotion unstable in the first month of working! Like I've spend too much time on the road! Finally several months later, actually when I got back after my training in Yogyakarta, my cowor...